KATEKESE

Berkata-kata Dalam Bahasa Lain (Bahasa Dari Roh Kudus ?)

KATEKSE | BINA IMAN // oleh RP IVO MANULLANG OFMCap

Apa yang dimaksud dengan “berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain” yang terdapat dalam Kisah Para Rasul 2:4?

Kisah Para Rasul 2:4 berbunyi sebagai berikut, “Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya.”

Lukas, penulis Kisah Para Rasul, melukiskan peristiwa Pentakosta dalam Kisah Para Rasul 2:1-13. Hari Pentakosta dalam konteks Kisah Para Rasul adalah peristiwa turunnya Roh Kudus atas para murid, yang terjadi 50 hari sesudah kebangkitan Yesus atau 10 hari sesudah kenaikanNya ke surga. Manifestasi utama dari dipenuhinya para murid oleh Roh Kudus adalah bahwa para murid itu “mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya.” Apa yang dimaksud dengan “berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain” di sini?

Mengomentari ayat ini, Kitab Suci New American Bible dalam sebuah catatannya melihatnya sebagai “doa ekstatik yang berisi pujian kepada Allah, yang ditafsirkan dalam ayat 6 dan 11 sebagai berbicara dalam bahasa-bahasa asing, melambangkan misi Gereja di seluruh dunia.” Dalam nada yang sama, the New Jerusalem Bible menyuguhkan komentar berikut, “Fenomena Pentakosta yang memiliki unsur-unsur umum untuk berbicara dalam bahasa lidah dialami oleh Kornelius (10:46ss; 11:15) dan oleh para murid Yohanes di Efesus (19:6), yang dibahas Paulus dalam 1 Kor 14… apa yang terjadi adalah pujian kepada Allah (2:11; 10:46; 1Kor 14:2,16) dengan bahasa ekstatik yang membuat pendengar kagum (2:13; 1Kor 14:23).”

Menurut Synan, “berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain” adalah “berbicara dalam bahasa yang tidak diketahui oleh pembicara, tetapi dimengerti oleh pendengar”. Opini ini sejajar dengan apa yang ditulis dalam Kisah Para Rasul 2:6, yakni “mereka masing-masing mendengar rasul-rasul itu berkata-kata dalam bahasa mereka sendiri” (bdk. Kis 2:8.11).  Berdasarkan Kisah Para Rasul 2:6 ini, pesan yang disampaikan para murid dalam bahasa-bahasa lain ditangkap atau dimengerti pendengar dalam bahasa mereka sendiri. Sejajar dengan gagasan ini, Baker menulis “Banyak ahli mencoba untuk menyelidiki apa yang terjadi pada hari Pentakosta itu. Umpamanya, pernah diusulkan bahwa intinya sebenarnya mukjizat pendengaran, bukan mukjizat perkataan: maksudnya, orang-orang yang hadir di Yerusalem, yang berasal dari banyak bangsa, mengerti secara luar biasa apa yang dikatakan oleh pengikut-pengikut Yesus, seolah-olah dalam bahasa mereka masing-masing. Namun apabila dibaca dengan teliti (Kis 2:4.6.8.11), jelaslah bahwa Lukas bermaksud melaporkan suatu pewartaan yang disampaikan dalam bahasa asing, bukan suatu mukjizat pendengaran, sebagaimana ditulis dalam Kisah Para Rasul 2:6, yakni “mereka masing-masing mendengar rasul-rasul itu berkata-kata dalam bahasa mereka sendiri.” Gagasan Baker ini didukung opini lain yang berbunyi bahwa para murid berbicara dalam bahasa-bahasa riil pendengar di mana bahasa itu tidak pernah dipelajari oleh pembicara.

Harold Hunter membedakan dua istilah yang berkaitan dengan bahasa-bahasa lain itu. Kedua istilah itu adalah xenolalia dan glossolalia. Xenolalia merujuk kepada seseorang yang berbicara dalam bahasa yang belum pernah dipelajarinya. Glossolalia adalah suatu bentuk ucapan yang tidak secara langsung bersinggungan dengan bahasa yang dikenal di dunia. Itu berarti glossolalia itu tidak dimengerti pembicara pun pendengar.

Bagi Walsh, ‘bahasa-bahasa’ pada hari Pentekosta mengandung dua arti: 1) berdasarkan Kisah Para Rasul 2:4, ‘bahasa-bahasa’ itu adalah glossolalia (doa dalam bahasa lidah) ekstatik; 2) berdasarkan Kisah Para Rasul 2:6, ‘bahasa-bahasa’ itu dapat merupakan entah mukjizat pendengaran atau xenolalia (kemampuan seseorang untuk berbicara dalam bahasa yang ia sendiri tidak tahu). Collins mencatat bahwa sejumlah orang mendukung arti kedua itu. Kisah Para Rasul 2:6, yang berbunyi “Mereka bingung karena mereka masing-masing mendengar rasul-rasul itu berkata-kata dalam bahasa mereka sendiri,” memberi kesan kuat bahwa memang ada mukjizat pendengaran, artinya orang-orang yang hadir di situ mendengar kabar baik tentang Kristus dalam bahasa mereka sendiri.

Berdasarkan ulasan di atas, kesimpulan yang dapat ditarik tentang “berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain” adalah:

  1. Doa ekstatik yang berisi pujian kepada Allah; dalam arti ini, doa ekstatik itu dapat diartikan sebagai glossolalia
  2. Xenolalia yang berarti pembicara berbicara dalam bahasa pendengar di mana pembicara tidak atau belum pernah mengetahui bahasa pendengar itu; atau pembicara berbicara dalam bahasa yang berbeda dari pendengar tetapi ditangkap pendengar dalam bahasanya sendiri (inilah yang disebut dengan mukjizat pendengaran). Kedua kemungkinan ini diperteguh dalam Kisah Para Rasul 2:6

Roh Tuhan yang berkarya dalam diri manusia akan menghasilkan saling pengertian dalam diri pembicara dan pendengar terlepas dari bahasa yang berbeda antara pembicara dan pendengar. Peristiwa Pentakosta merupakan tanda publik universalitas Injil, bukan pengalaman pribadi. Hal yang mendukung argumen ini adalah kenyataan bahwa dari semua orang yang merespons pewartaan Petrus tak seorangpun dicatat berbicara dalam bahasa lidah (roh), meskipun dijanjikan bahwa Roh akan dicurahkan kepada mereka. Di sisi lain, baptisan mereka menginisiasikan mereka ke dalam bilangan dan kehidupan komunitas para murid (Kis 2:41-47).

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *