Empati di Media Sosial
Saat itu ada acara makan malam bersama para mitra di sebuah restoran yang terkenal. Salah seorang dari mitra, berdiri dan memotret hidangan utama yang sudah tersedia di meja perjamuan. Tentu hidangannya mewah, lezat, beragam menu, dan banyak, sesuai dengan pesanan. Tindakan rekan itu segera disanggah oleh seseorang mitra yang lain dengan pertanyaan. “What do you want?” “Oo I want to take some pictures for our document!” “Okay, but better you do not post those pictures in social media!” “Thank you. Of course!”
Pandemi covid 19 yang berkepanjangan, mengakibatkan usaha-usaha yang berskala kecil dan menengah berantakan. Ibaratnya: hidup enggan, mati tak mau. Pada bagian lain, ribuan karyawan dengan terpaksa diberhentikan. Mereka kehilangan pekerjaan dan masa depan. Realitas ini mendatangkan stress, bahkan bisa gila. Masa depan menjadi kelam, hidup menjadi melarat dan tak menentu. Dari pemerintah, dan lembaga-lembaga sosial lainnya telah menunjukan empati dengan memberikan bantuan materi dan motivasi agar masyarakat atau umatnya bertahan hidup dan melewati masa suram ini dengan optimis.
Apa sikap kita, sebagai bentuk empati di media sosial berkaitan dengan situasi suram ini? Salah satu contoh, perihal postingan-postingan di medsos. Dalam konteks ini saya bisa menangkap sinyal, mengapa salah seorang mitra itu melarang agar foto-foto yang dengan beragam hidangan diatas meja perjamuaan itu agar tidak dipostingkan di media sosial. Tentu ia tidak mau mempertontonkan sebuah realitas sosial yang tidak bersahabat dengan suasana umum yang sedang terjadi. Dengan kata lain Ia tidak mau menunjukan tawa-sukacita dengan menghadapi ragam makanan lezat, diatas tangisan ribuan bahkan jutaan anak-anak lain yang minta agar ibunya memberi sepotong daging, karena yang mereka hadapi sepiring nasi tok. Pertanyaan sederhana, kalau foto-foto itu dipostingkan, dimana empati mereka terhadap ribuan ibu-ibu yang harus mengurangi jumlah lauk “tahu dan tempe” untuk anak-anaknya pada saat ini, karena ayah mereka kehilangan pekerjaan?
Tentu kita boleh memosting foto, berita dll, tak ada orang yang melarang, asalkan tidak beraromakan pornografi, hoax, ujaran kebenciaan, kekerasan, dan larangan-larangan lainnya. Kesadaran akan empati dalam bermedia sosial, tidak bermula karena larangan-larangan orang lain. Kesadaran itu muncul sebagai ungkapan berbela rasa terhadap kemanusiaan. Nalar sadar yang menunjukan kepekaan sosial terhadap sebuah situasi. Disini yang mau ditunjukan adalah Kualitas Kesadaran Emosional Seseorang (EQ)
Percayalah bahwa kemurahan hati itu timbul karena sebuah empati, yang mendatangkan semangat untuk “berbagi” kepada yang lain. Perihal berempati dalam media sosial adalah cara sederhana, bagaimana gereja mengekspresikan kegembiraan dan harapan terutama dalam kondisi yang serba sulit seperti sekarang ini. Gereja sangat konsen dengan soal berbela rasa dengan umat manusia, bahkan Dunia. Anda bisa menemukan hal itu dalam Dokumen Konsili Vatikan II Gaudium et Spes. (Kegembiraan dan harapan) Berempati dalam media social terutama dalam memostingkan foto, gambar, berita dll dengan bijak dan tenggang rasa merupakan panggilan setiap orang beriman.
Campo Belo, 10 Agustus 2020.
Hubert Lidi OSC