Mencari Rahmat Di Balik Puing-Puing Kehancuran

Salah satu keluarga, yang barusan membuka usahanya menelpon aku. “Pastor, apakah Tuhan Allah masih mencintai kita manusia?” “Maksudnya?” Aku balik bertanya. “Habislah uang kami untuk memulai usaha ini, dan ternyata semuanya sia-sia karena pandemi covid-19. Ga bisa produksi, belum bisa balik modal. Apa yang Tuhan mau Pastor?”
Bencana alam, dalam hal ini termasuk pandemi covid-19 membuat kita semua stress, dan seakan-akan Tuhan sudah tidak mencintai kita lagi. Pada saat-saat seperti ini, kita merasa seakan-akan menjadi mahkluk yang tidak berdaya di hadapan penciptaNya. Apakah harus demikian? Tidak.
Mengapa? Manusia adalah mahkluk ciptaan Allah, yang berakal-budi, bahkan diciptakan menurut gambar dan rupa penciptaNya. (bdk. Kej 1.26-28) Apakah pandemi covid 19 ini juga menghabiskan akal dan budi kita? Tentu tidak. Yuval Noah Harari, dalam bukunya: SAPIENS, berujar bahwa manusia adalah mahkluk yang paling survival, dalam arti kapan saja, dimana saja, dalam situasi apa saja manusia bisa bertahan hidup dan menyesuaikan diri dengan situasi yang ada. Pandangalah orang Eskimo yang bisa hidup dan membuat rumah dari bongkahan es. Pandanglah orang-orang Afrika yang bisa hidup dari hamparan gurun pasir. Apakah pandemi covid 19 menghabiskan survive kita? Tentu tidak.
Nah, disinilah kita diajak, memaknai dan mensyukuri kebesaran Allah. Kitalah ciptaanNya yang unik, dan berakal-budi. Kita diberi kemampuaan untuk survive. Bahkan kita menjadi lebih maju karena survive.
Kita belajar menemukan sesuatu yang berharga dari puing-puing kehancuran pandemi covid 19 sebagaimana bapa yang mengais-ngais diatas tumpukan arang rumahnya yang terbakar itu. Salam sehat
Hubertus Lidi OSC
Facebook Comments