NEWSPESONA GEREJA

Story telling Kitab Suci Relevankah?

Loading

Komsoskam.com – Lintongnihuta – Paroki St. Koenrad Parzam Lintongnihuta coba galakkan kembali metode story telling Kitab Suci dengan menggelar pelatihan pada 13 Mei 2019 yang difasilitasi oleh staf Komisi Kerasulan Kitab Suci KAM (Keuskupan Agung Medan), Marhosing P Tampubolon dan Fernando HS Tamba.  Acara ini berlangsung di aula paroki, dihadiri sebanyak 46 peserta yang merupakan para pengurus gereja.

Bapak Marhosing Tampubolon menyampaikan materi dihadapan pengurus gereja.

“Story telling atau bercerita merupakan salah satu metode yang sudah teruji dalam mengajar, termasuk mengajar Kitab Suci. Akan tetapi belakangan, metode ini semakin jarang dipakai untuk mengajar Kitab Suci. Beberapa waktu lalu Uskup Anicetus B. Sinaga OFMCap (Emeritus) dalam Sinode VI KAM 2016 merekomendasikan agar metode ini dihidupkan kembali ditengah keluarga dalam menumbuhkan iman” kata Fernando HS Tamba pada peserta. Atas dasar ini jugalah, Komisi Kerasulan Kitab Suci menginisiasi dan mendorong paroki-paroki untuk mengadakan pelatihan storytelling kitab suci.

Pada awal kegiatan, narasumber mengajak peserta untuk membagikan pengalamannya sehubungan dengan kebiasaan membaca dan bercerita Kitab Suci di dalam keluarga. Berdasarkan sharing peserta, ternyata pada umumnya belum ada kebiasaan membaca Kitab Suci di dalam keluarga dan tidak ada kebiasaan bercerita Kitab Suci di dalam keluarga. Setelah sharing pengalaman, selanjutnya narasumber menyampaikan materi tentang pentingnya story telling Kitab Suci dalam keluarga dan langkah-langkah mewujudkan story telling. Selain pemaparan materi, di dalam kegiatan juga dibuat latihan mempersiapkan bahan story telling Kitab Suci.

Baca juga  BACAAN INJIL, SENIN, 10 AGUSTUS 2020

Dalam pemaparan materi, narasumber mengajak peserta untuk menggalakkan kembali metode story telling dalam mengajar Kitab Suci. “Mencipta metode yang baru untuk mengajar Kitab Suci itu baik. Tapi melupakan metode lama yang sudah teruji, dalam hal ini dimaksud adalah metode story telling, merupakan suatu kesalahan yang besar. Bercerita itu suatu seni. Tidak dianugerahkan kepada semua orang, tapi pasti bisa dibuat oleh semua orang jika dipelajari dengan baik. Kita semua bisa menjadi pencerita. Syarat utama agar dapat menjadi pencerita adalah kita mengetahui ceritanya”, demikian dipaparkan oleh narasumber.

Pada akhir kegiatan, dengan penuh semangat beberapa peserta mengungkapkan kesan dan pesan atas kegiatan. “Kegiatan ini cukup berkesan dan sebaiknya perlu dibuat atau dilanjutkan lagi pada waktu yang akan datang”, ungkap salah satu peserta. Setelah itu kegiatan ditutup oleh perwakilan dari DPP. Semoga story telling Kitab Suci di tengah umat Paroki ini semakin hidup.

(Fernando HS Tamba)

 

Facebook Comments

Leave a Reply