OPINI

Kreak & Primitif

Loading

Sebelum Anda lebih jauh membaca artikel ini, cobalah berikan pensil kepada seorang anak kecil, lalu hadapkan ia pada dinding rumah. Ia barangkali mulai mencoret-coret dinding dengan beragam gambar yang tak keruan. Bagi dia itu adalah satu pengalaman yang baru, demikian pula bagi kita ada gambar-gambar baru yang diper­lihatkan kepada kita, tetapi tidak kita pahami sama sekali. Ketika ia beranjak dewasa ia bisa lebih “kre­atif” menulis “prasasti” di dinding kelas sekolah: contekan Yang lebih kreatif lagi, ada beragam jenis font menarik di sana. “Inspiratif”.

Orang Medan memahami jargon “kreatif” se­bagai akronim yang memang amat kreatif: “kreak” dan “primitif”. Kreak dalam bahasa pergaulan orang Medan, berarti “menyebalkan”; “usil”; “jahil” atau “suka iseng”. Barangkali kreak didekatkan dengan “crack” yang pelafalannya sedikit mirip, yang dalam bahasa Inggris yang berarti “retak”, sebuah gambaran yang tidak positif. Maka, tatkala orang Medan menjuluki seseorang dengan sebutan “kre­atif” dalam makna denotatif, berarti dia berkarakter buruk dan tidak bisa maju, tidak modern atau bo­doh. Sebagai sebuah sindiran: ya, tidak kreatif sekali. Sesungguhnya lagi, akronim itu disinggahkan bagi mereka yang sebenarnya tidak terlalu kreatif untuk menyatakan diri mereka kreatif.

Saya tertarik dengan kata “primitif” itu. Pasalnya, kreatifitas manusia sesungguhnya seusia dengan usia peradaban manusia sendiri. Sebagai sebuah takdir, kini kreatifitas di tengah gelombang masif in­formasi, berkembang pesat ke dalam ranah ekono­mi yang menghasilkan “uang”.

Begini awalnya. Di masa prasejarah manusia, saat manusia purba yang hidup di gua belum menemukan aksara sebagai medium bahasa standar, dan mereka hanya mampu dengan “bahasa Tarzan”, mereka menggambar dinding gua itu. Isinya ada­lah rekaman kehidupan mereka sehari-sehari, ka­rena mereka paham bahwa kisah hidup yang hanya dilisankan, lama-kelamaan hilang kebenarannya. Menggambar di gua sejatinya adalah strategi do­kumentasi kehidupan yang mudah diresapi bagi yang melihat, sebab manusia pada dasarnya adalah makhluk visual. Itulah sebabnya orang lebih menyu­kai foto daripada ribuan kata untuk berkomunikasi secara singkat dan cepat. Efektif dan “primitif”.

Baca juga  Merdeka Menulis, Menaiktarafkan Mutu Jurnalisme Warga

 

Ekonomi Berbasis Kreatifitas

Terkait bisnis kreatif dan ekonomi kreatif hari ini, kita patut bersenang hati, sebab sumbangan bidang ini tidaklah kecil. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu pada kesem­patan pembukaan design congress di Yogyakarta, September 2014 lalu, mengungkapkan kontribusi sektor ekonomi kreatif terus menunjukkan pertum­buhan signifikan terhadap perekonomian nasional. Pada tahun 2013 subsektor desain dan fesyen me­nyumbang sekitar 20-30 persen dari ekonomi kre­atif dan tumbuh di atas rata-rata nasional, yaitu to­tal sebesar Rp 578 triliun dari 15 subsektor industri kreatif.

Kini pemerintahan Jokowi-JK mendirikan Ke­menterian Ekonomi Kreatif guna mendorong po­tensi sektor ekonomi ini lebih maju lagi. Menurut Budyarto dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia kepada media belum lama ini, pada pe­riode 2002-2010, ekonomi kreatif memberikan kon­tribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB) nasional rata-rata 7 persen per tahun. Tahun lalu, kontribusinya sebesar 7,29 persen atau senilai Rp 486 triliun. Pada 2013 lalu pertumbuhan ekonomi kreatif seki­tar 9 persen dan tahun ini diproyeksikan naik men­jadi 10 persen.

Sebenarnya pertumbuhan tersebut seharusnya bisa dipacu lebih kencang, jika saja pemerintah menerapkan pola penanganan terpusat. Pasalnya, potensi ekonomi kreatif sebagian besar ada di dae­rah, kecuali yang berbasis teknologi informasi dan digital. Dengan hadirnya Kementerian Ekonomi Kreatif, diperkirakan pertumbuhannya meningkat 12 persen pada tahun 2015.

Di Medan sendiri pertumbuhan ekonomi kreatif ditunjang dari praktik bisnis kreatif yang lumayan, tetapi kita tidak memiliki angka pasti pertumbuhan­nya. Namun, sejauh mata kita memandang, ramai rekan-rekan kita yang kreatif mengolah keahlian­nya, mereka menjadikannya sebuah produk yang laku dijual. Sebut saja, misalnya Agus Perdana yang mendirikan portal berita kabarmedan.com. Dengan logo “becak” sebagai penciri khususnya, ia berhasil menarik banyak pengunjung setiap harinya, karena informasi teranyar di dalamnya memang dalam ru­ang lingkup Medan. Agus, yang juga anggota Alian­si Jurnalis Independen (AJI) Medan ini juga tersohor, karena kerap tampil di depan publik melalui berag­am diskusi, seminar, dan pelatihan menulis.

Baca juga  Sr. Seraphine: Menulis Cerpen Dengan Tangan yang Tak Patah

Ada lagi Wahyu, yang konsisten mengusung informasi tentang kota Medan melalui situs ceritamedan.com. Kini ia semakin sering melakukan branding agresif dengan menjadi media partner di berbagai event. Eka Dalanta Tarigan pun demikian. Cewek ini, selepas resign dari media cetak terna­ma Medan, ia terpanggil berbisnis kreatif dengan mendirikan Brandtalk yang mengusung penguatan merek bagi produk, semisal desain grafis, video kre­atif, iklan dan lain sebagainya.

Saya yang berkecimpung di dunia bisnis kreatif sejak 2010, belum merasakan gebrakan signifikan dari Pemerintah Provinsi Sumut dan Kotamadya Medan soal ekonomi kreatif ini, padahal Presiden SBY sudah menginstruksikan itu. Melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif, presiden memerintahkan mulai dari menteri terkait dan se­luruh gubernur, bupati/walikota di Indonesia untuk melaksanakan itu. Di dalam dokumen negara ini tertulis cukup terperinci apa yang harus dilakukan pemerintah daerah.

Untuk Sumut sendiri yang paling hebat hanyalah Pekan Rakyat Sumatera Utara (PRSU) itu. Semestinya ada penguatan lebih serius terhadap produk bisnis kreatif di daerah ini, hingga bernilai ekspor. Kalau hanya bisa bermain di tingkat lokal, saya pikir dangkal manfaatnya. Saya tidak pernah lupa pada 2012 silam, ketika saya mengunjungi se­buah booth milik salah satu pemerintah kabupatan di PRSU. Kopi yang mereka katakan produk eskpor, dipajang begitu saja di meja, tanpa ada cangkir dan air panas, agar pengunjung bisa mencicipinya.

Jadi, pekerjaan rumah kita masih banyak untuk memajukan ekonomi kreatif ini, khususnya pengem­bangaan SDM yang menjadi titik sentralnya. Marilah memulai dengan menyelenggarakan pelatihan yang lebih terstruktur dan berkelanjutan.

VINSENSIUS G.K SITEPU | be_web2001@yahoo.com

Facebook Comments

Ananta Bangun

Pegawai Komisi Komsos KAM | Sering menulis di blog pribadi anantabangun.wordpress.com

Leave a Reply